Friday, April 12, 2013

Curhatan Seorang Santri

Curhatan Seorang Santri
Ahad sore itu, langit mengguyurkan  hujan ke bumi dengan derasnya. Meskipun sudah sejak siang hujan turun tapi sampai sore hari pun belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Setelah seharian ku habiskan di kegiatan lomba, karena aku menjadi panitia di acara IBF. Mengikuti acara sampai akhir pun mau gak mau harus dijalani. Tapi aku merasa iri dan kagum kepada anak-anak itu. Dengan membawa payung yang berwarna-warni, tas yang ada di pundak kirinya yang selalu membebaninya di kamis, sabtu dan ahad sore. Meskipun hujan, kondisi ini tidak mengurangi semangatnya untuk datang ke masjid, untuk memenuhi kewajibannya sebagai orang islam, yaitu menuntut ilmu agama. Ada 8 anak sore itu yang datang. Mereka para santri dengan penuh ikhlas, walau tak mengerti ikhlas itu apa, meluangkan waktu dan menggerakkan langkah kaki mereka untuk menuju majlis penuh ‘ilmu dan berkah meskipun harus melawan hujan.
Di kota pelajar ini, tidak hanya di daerah kotanya bahkan sampai ke pelosok desanya. Kegiatan TPA cukup familiar dan bukan hal yang asing lagi. Nampaknya nama TPA menjadi suatu tempat yang sangat cocok dimana anak-anak dari usia dini sampai remaja bisa menuntut ilmu di sini. Probelmatikanya adalah kurangnya relawan untuk menjadi pengajar dalam keberlangsungan proses belajar di TPA-TPA di kota ini. Mayoritas tenaga pengajar  di masing-masing TPA adalah orang asing/dari luar daerah yang notabene masih berstatus mahasiswa/pelajar. Sangat jarang menemukan pengajar yang berasal dari masyarakat sekitar atau penduduk setempat. Aku sangat mengapresiasi kepada semua kawan-kawan yang aktif baik kawan mahasiswa dan masyarakat setempat yang masih peduli terhadap keberlangsungan TPA. Ironisnya, seringkali anak-anak tidak tahu nama remaja  yang menjadi penduduk setempat, meskipun tahu orangnya. Karena kedekatan mereka tidak ada, satu-satuunya tempat ya di TPA ini. Tapi kepedulian remaja dan masyarakat terkadang kurang maksimal. Biasanya di sekolah-sekolah umum posisi anak yang belajar disebut siswa atau siswi, sedangkan di TPA anak-anak mendapatkan predikat santriwan dan santriwati. Pengajarnya biasa disebut Ustad dan Ustadzah.
Tepat pukul setengah lima sore pelajaran pun siap dimulai. Seperti biasa belajar dibuka dengan do’a bersama. Sebelum masuk ke pelajaran biasanya akan diisi dengan pengantar berupa tepuk-tepuk islami ataupun pertanyaan-pertanyaan ringan untuk mengingat pelajaran yang sudah pernah dipelajari di pertemuan sebelumnya.
“Santri...!”panggil seorang Ustadz sore itu yang tengah memulai pelajaran. Kondisi capek dan suara hujan yang cukup ramai membuat sore itu berbeda dengan biasanya. “Siapp...” jawab santri sebagian, yang sebagian lagi disibukkan dengan aktivitas mereka sendiri. Aku hanya mencoba memprovokasi supaya anak-anak mengikuti instruksi dari Ustadnya. Hubungan antara guru dan murid di TPA tidak berlaku, tapi hubungan  antara kaka dan adik lebih cocok karena kedekatannya. Seiring berjalannya kegiatan belajar tersebut. Banyak santri yang bercerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolahnya, kenakalan temannya di sekolah atau tentang dirinya sendiri. Terkadang juga mencari perhatian dari Ustadnya dengan gaya mereka sendiri. Terkadang sebagian mengungkapkan langsung di sela-sela pengajian berlangsung tentang perasaannya. CURHAT lebih tepatnya, tapi versi anak.
Sore itu di sela-sela proses belajar belangsung, panggil saja Dina kelas tiga SD di salah satu Sekolah Negri di Jogjakarta, dia termasuk santri yang rajin di TPA tempat kami belajar;
Ia berkeluh kesah  ”Mas, malesi tenan ee, sesuk mangkat sekolah. Kudu nyiapke akeh banget”
“Lah ngopo, kudune seneng biso sinahu meneh. Biso ketemu koncone” tanggapanku dengan memaksakan diri menggunakan bahasa jawa.
“Ora enak e, mas. Kesel. Terus akeh tugas meneh,,,” tambahnya.
Aku pun terdiam, sambil mengingat-ingat masa dulu dimana aku masih duduk di bangku SD. Aku juga merasakan hal yang sama waktu itu. Perbedaan waktu dan latar belakang menjadi faktor yang sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Waktu itu, aku cenderung tidak terlalu menghiraukan tugas sekolah. Dulu aku lebih menghabiskan untuk bermain di siang hari dan nonton TV di malamnya. “Karena guruku kan baik hati, jadi jarang ngasih PR.”pembelaan batinku.
Keluhan-keluhan mereka terkadang tidak secara sengaja mereka sampaikan, namun seringkali terjadi ketika aku menanyakan “Kenapa jarang berangkat, tuh kan jadi lupa bacaannya?” atau “Kenapa kemarin gak berangkat” dari sini akan muncul berbagi macam jawaban yang merupakan problematika yang perlu untuk dipecahkan bersama. Melibatkan peran Pengurus TPA dan Ustadz/ahnya, Wali Santri, juga santri itu sendiri.
Di atas hanya salah satu dari berbagai curhatan santri yang sering kali ku dengar,,, Bagaimana dengan curhatan santrimu?

No comments:

Post a Comment