Curhatan Seorang
Santri
Ahad sore
itu, langit mengguyurkan hujan ke bumi
dengan derasnya. Meskipun sudah sejak siang hujan turun tapi sampai sore hari
pun belum ada tanda-tanda hujan akan reda. Setelah seharian ku habiskan di
kegiatan lomba, karena aku menjadi panitia di acara IBF. Mengikuti acara sampai
akhir pun mau gak mau harus dijalani. Tapi aku merasa iri dan kagum kepada
anak-anak itu. Dengan membawa payung yang berwarna-warni, tas yang ada di
pundak kirinya yang selalu membebaninya di kamis, sabtu dan ahad sore. Meskipun
hujan, kondisi ini tidak mengurangi semangatnya untuk datang ke masjid, untuk
memenuhi kewajibannya sebagai orang islam, yaitu menuntut ilmu agama. Ada 8
anak sore itu yang datang. Mereka para santri dengan penuh ikhlas, walau tak
mengerti ikhlas itu apa, meluangkan waktu dan menggerakkan langkah kaki mereka untuk
menuju majlis penuh ‘ilmu dan berkah meskipun harus melawan hujan.
Di kota pelajar ini, tidak hanya di
daerah kotanya bahkan sampai ke pelosok desanya. Kegiatan TPA cukup familiar
dan bukan hal yang asing lagi. Nampaknya nama TPA menjadi suatu tempat yang
sangat cocok dimana anak-anak dari usia dini sampai remaja bisa menuntut ilmu
di sini. Probelmatikanya adalah kurangnya relawan untuk menjadi pengajar dalam
keberlangsungan proses belajar di TPA-TPA di kota ini. Mayoritas tenaga
pengajar di masing-masing TPA adalah
orang asing/dari luar daerah yang notabene masih berstatus mahasiswa/pelajar.
Sangat jarang menemukan pengajar yang berasal dari masyarakat sekitar atau
penduduk setempat. Aku sangat mengapresiasi kepada semua kawan-kawan yang aktif
baik kawan mahasiswa dan masyarakat setempat yang masih peduli terhadap
keberlangsungan TPA. Ironisnya, seringkali anak-anak tidak tahu nama
remaja yang menjadi penduduk setempat,
meskipun tahu orangnya. Karena kedekatan mereka tidak ada, satu-satuunya tempat
ya di TPA ini. Tapi kepedulian remaja dan masyarakat terkadang kurang maksimal.
Biasanya di sekolah-sekolah umum posisi anak yang belajar disebut siswa atau
siswi, sedangkan di TPA anak-anak mendapatkan predikat santriwan dan
santriwati. Pengajarnya biasa disebut Ustad dan Ustadzah.
Tepat pukul setengah lima sore
pelajaran pun siap dimulai. Seperti biasa belajar dibuka dengan do’a bersama.
Sebelum masuk ke pelajaran biasanya akan diisi dengan pengantar berupa
tepuk-tepuk islami ataupun pertanyaan-pertanyaan ringan untuk mengingat
pelajaran yang sudah pernah dipelajari di pertemuan sebelumnya.
“Santri...!”panggil seorang Ustadz
sore itu yang tengah memulai pelajaran. Kondisi capek dan suara hujan yang
cukup ramai membuat sore itu berbeda dengan biasanya. “Siapp...” jawab santri
sebagian, yang sebagian lagi disibukkan dengan aktivitas mereka sendiri. Aku hanya
mencoba memprovokasi supaya anak-anak mengikuti instruksi dari Ustadnya. Hubungan
antara guru dan murid di TPA tidak berlaku, tapi hubungan antara kaka dan adik lebih cocok karena
kedekatannya. Seiring berjalannya kegiatan belajar tersebut. Banyak santri yang
bercerita tentang kegiatan-kegiatan di sekolahnya, kenakalan temannya di
sekolah atau tentang dirinya sendiri. Terkadang juga mencari perhatian dari
Ustadnya dengan gaya mereka sendiri. Terkadang sebagian mengungkapkan langsung
di sela-sela pengajian berlangsung tentang perasaannya. CURHAT lebih tepatnya,
tapi versi anak.
Sore itu di sela-sela proses
belajar belangsung, panggil saja Dina kelas tiga SD di salah satu Sekolah Negri
di Jogjakarta, dia termasuk santri yang rajin di TPA tempat kami belajar;
Ia berkeluh kesah ”Mas, malesi tenan ee, sesuk mangkat sekolah. Kudu
nyiapke akeh banget”
“Lah ngopo, kudune seneng biso
sinahu meneh. Biso ketemu koncone” tanggapanku dengan memaksakan diri
menggunakan bahasa jawa.
“Ora enak e, mas. Kesel. Terus akeh
tugas meneh,,,” tambahnya.
Aku pun terdiam, sambil
mengingat-ingat masa dulu dimana aku masih duduk di bangku SD. Aku juga merasakan
hal yang sama waktu itu. Perbedaan waktu dan latar belakang menjadi faktor yang
sangat penting dalam proses belajar-mengajar. Waktu itu, aku cenderung tidak
terlalu menghiraukan tugas sekolah. Dulu aku lebih menghabiskan untuk bermain
di siang hari dan nonton TV di malamnya. “Karena guruku kan baik hati, jadi jarang
ngasih PR.”pembelaan batinku.
Keluhan-keluhan mereka terkadang
tidak secara sengaja mereka sampaikan, namun seringkali terjadi ketika aku
menanyakan “Kenapa jarang berangkat, tuh kan jadi lupa bacaannya?” atau “Kenapa
kemarin gak berangkat” dari sini akan muncul berbagi macam jawaban yang
merupakan problematika yang perlu untuk dipecahkan bersama. Melibatkan peran Pengurus
TPA dan Ustadz/ahnya, Wali Santri, juga santri itu sendiri.
Di atas hanya salah satu dari berbagai
curhatan santri yang sering kali ku dengar,,, Bagaimana dengan curhatan
santrimu?
No comments:
Post a Comment